PPh Pasal 25 WP Badan Baru

Sampai dengan saat ini tidak ada ketentuan yang secara rinci memberikan panduan kepada wajib pajak dalam menghitung PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru. Dalam PMK No. 255/PMK.03/2008  sendiri tidak ada contohnya. Dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) PMK itu hanya disebutkan bahwa:

“(1)    Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak BARU adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).”

Bagi yang awam pajak, bisa jadi tidak akan paham dengan kalimat di atas. “Apa maksudnya penghasilan neto sebulan disetahunkan dan dibagi 12??”

Hm… interpretasi penulis di sini adalah bahwa untuk menentukan besarnya angsuran PPh Pasal 25 WP baru, maka dihitung dengan cara penghasilan neto fiskal sebulan dikali 12 kemudian dikali dengan tarif pajak Psl 17 UU PPh sehingga diperoleh pajak setahun.

Nah, PPh Pasal 25 bulan tersebut berarti adalah sebesar PPh terutang atas Ph neto fiskal sebulan yang disetahunkan dibagi dengan 12.

Di luar itu, tentunya ada permasalahan lainnya yang masih jadi pertanyaan yang belum dijawab oleh otoritas pajak hingga kini.

1. Apabila ada kredit pajak dalam bulan tersebut (misalnya: PPh Pasal 23), apakah hal ini boleh diperhitungkan–dan apakah kredit pajak sebulan harus disetahunkan juga??

2. Apabila WP penghasilan netonya berfluktuasi, di mana ada omset sebulan yang disetahunkan kurang dari 50 miliar dan ada yang melebihi 50 miliar. Bukankah hal ini akan menyebabkan adanya perbedaan penghitungan–yang juga akan berujung pada perbedaan pajak terutang dan angsuran pajaknya–apakah hal ini tidak akan dipertanyakan oleh fiskus, karena dianggap tidak konsisten.

Sekedar sharing saja,untuk WP badan yang omsetnya < 50 miliar, maka akan memeroleh fasilitas UMKM berupa penurunan tarif sebesar 50% atas jmlh Ph KP sebesar 4,8 miliar.

Hm… sebenarnya, yang namanya angsuran PPh Pasal 25 tidak tepat pun semestinya tidak masalah (namanya juga estimated tax tho…!!! ), toh di akhir tahun Wajib Pajak akan membayar kekurangannya. Namun, praktiknya tidak semudah itu fiskus dapat menerimanya.Pasalnya, bila ada beda persepsi penghitungan, fiskus bisa menerbitkan SPT kepada WP.

Tetap Bayar Mekipun Lebih Bayar

PPh Pasal 25 merupakan pajak yang disetor sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak yang penghitungannya didasarkan pada jumlah PPh terutang pada tahun pajak sebelumnya. Lalu bagaimana bila PPh terutang tahun sebelunya nihil atau lebih bayar? Akankah wajib pajak tetap menyetor PPh Pasal 25.

Berdasarkan UU PPh (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000), Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selama satu tahun pajak. Dalam hal ini, pelunasan PPh dilakukan dalam tahun berjalan atau pada akhir bulan ke tiga sesudah tahun pajak berakhir.

Terkait dengan penyetoran pajak dalam tahun berjalan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU PPh, hal ini utamanya adalah untuk kepentingan mengamankan penerimaan negara. Sementara bagi Wajib Pajak hal ini ditujukan untuk meringankan beban pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak di akhir tahun.

Cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan ini pun bisa dilakukan oleh Wajib Pajak melalui dua cara. Pertama melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain atau yang kita kenal dengan mekanisme withholding tax. Kedua, melalui pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri.

Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain atau melalui mekanisme withholding tax dilakukan apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang menjadi objek pemotongan atau pemungutan PPh. Contohnya pelunasan pajak melalui pihak lain ini adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. Dalam hal ini, pajak akan dilunasi oleh pihak yang memotong pajak. Sedangkan pelunasan pajak sendiri dalam tahun berjalan dilakukan setiap bulan oleh Wajib Pajak sendiri, yaitu pembayaran PPh Pasal 25.

Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan, baik melalui mekanisme withholding tax maupun melalui mekanisme setor sendiri (self assessment) merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam tulisan ini kita tidak akan membahas lebih jauh mengenai pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain. Dalam tulisan ini kita akan membahas pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri, yaitu terkait dengan pelunasan PPh Pasal 25. Tulisan ini juga terinspirasi dari beberapa pertanyaan yang pernah penulis terima.

Penghitungan PPh Pasal 25

Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 UU PPh, dijelaskan bahwa besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar PPh yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong dan dipungut oleh pihak lain serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri dibagi dengan 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh 1:

Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2006 Rp50.000.000,00

dikurangi:

a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00

b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00

c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00

d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)

Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00 (-)

Selisih Rp 15.000.000,00

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

Penghitungan PPh Pasal 25 di atas berlaku apabila kondisinya adalah normal. Namun dalam hal-hal tertentu, penghitungan PPh Pasal 25 bisa berbeda. Hal-hal tertentu ini, misalnya, bisa muncul apabila Wajib Pajak memiliki hak kompensasi rugi, atau Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang sifatnya tidak teratur di tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tentang PPh Pasal 25 Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-hal Tertentu.

Sesuai dengan Pasal 3 keputusan Dirjen Pajak tersebut, dinyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang sifatnya tidak teratur, maka PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penghasilan yang sifatnya teratur saja. Artinya penghasilan yang sifatnya tidak teratur harus dikeluarkan terlebih dahulu.

Yang dimaksud dengan penghasilan teratur dalam hal ini adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final.

Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

Sementara untuk Wajib Pajak yang masih memiliki hak kompensasi rugi, maka untuk menghitung PPh Pasal 25-nya Wajib Pajak diperkenankan untuk mengurangi penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25 dengan rugi yang berhak dikompensasikan.

Contoh 2:

PT Majulah Indonesia (PT MI) pada Tahun Pajak 2006 menerima penghasilan neto fiskal sebesar Rp4.500.000.000,00. Dari jumlah tersebut termasuk di dalamnya penghasilan dari penjualan aktiva berupa penyertaan saham di perusahaan lainnya sebesar Rp1.500.000.000,00. Adapun pajak yang telah dilunasi oleh pihak lain melalui pemotongan dan pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

– PPh Pasal 23 dipotong pihak lain Rp170.000.000,00

– PPh Pasal 22 dipungut pihak lain Rp150.000.000,00

PT MI juga telah membayar pajak di luar negeri sebesar Rp112.000.000,00, sejumlah tersebut seluruhnya dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak di SPT Tahunan PPh PT MI. Selain itu PT MI juga masih memiliki kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya yang masih berhak dikompensasikan sebesar Rp400.000.000,00.

Maka penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2007 adalah:

Penghasilan neto fiskal Rp4.500.000.000,00

Dikurangi:

Penghasilan tidak teratur (penjualan saham) Rp1.500.000.000,00 (-)

Penghasilan teratur Rp3.500.000.000,00

Dikurangi:

Kompensasi kerugian Rp 400.000.000,00 (-)

Penghasilan Kena Pajak Rp3.100.000.000,00

PPh yang terutang:

10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00

15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00

30% x Rp3.000.000.000,00 = Rp 900.000.000,00 (+)

Jumlah Rp 912.000.000,00

Kredit pajak:

– PPh Pasal 23 Rp170.000.000,00

– PPh Pasal 22 Rp150.000.000,00

– PPh Pasal 24 Rp112.000.000,00 (+)

Jumlah Rp 432.000.000,00 (-)

PPh yang harus dibayar sendiri Rp 480.000.000,00

PPh Pasal 25 = Rp480.000.000,00 / 12 Rp 20.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 25 memang berbeda dengan menghitung PPh kurang bayar (PPh Pasal 29) di akhir tahun. Perhatikan perbedaan penghitungan PPh Pasal 29 dan PPh Pasal 25 berikut ini.

Box 1

No.

PPh Pasal 29

PPh Pasal 25

1.

Penghasilan neto, baik yang teratur maupun yang tidak teratur

Hanya penghasilan yang sifatnya teratur saja

2.

Kompensasi kerugian diperhitungkan

Kompensasi kerugian diperhitungkan

3.

Kredit pajak diperhitungkan:

Kredit pajak dalam negeri

Kredit pajak luar negeri

Kredit pajak diperhitungkan:

Kredit pajak dalam negeri

Kredit pajak luar negeri

4

Dikurangi dengan PPh yang dibayar sendiri (PPh Pasal 25, Fiskal Luar Negeri, PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan)

PPh yang dibayar sendiri tidak ikut diperhitungkan

SPT Lebih bayar dan Implikasinya Terhadap PPh Pasal 25

Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa penghitungan PPh Pasal 25 didasarkan pada adanya pajak terutang atau SPT menunjukkan kurang bayar. Lalu bagaimana jika ternyata SPT Tahunan PPh menyatakan rugi atau bila SPT Tahunan PPh lebih bayar?

Kondisi lebih bayar dalam SPT Tahunan PPh terjadi apabila jumlah pajak terutang lebih kecil dari jumlah kredit pajak. Terkait dengan penghitungan PPh Pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya ada beberapa kondisi yang bisa menyebabkan PPh Pasal 25 masih muncul untuk tahun pajak berikutnya. Berikut ini adalah analisa penulis terhadap kondisi lebih bayar dan implikasinya terhadap angsuran PPh Pasal 25.

1. Bila Lebih Bayar Karena Kerugian Fiskal

Apabila SPT Tahunan PPh mengalami kerugian fiskal dan pajak yang dipotong dan dipungut pihak lain lebih besar, maka hal ini tidak akan menyebabkan munculnya angsuran PPh di tahun pajak berikutnya.

Contoh 3:

PT Aku Cinta Indonesia (PT ACI) mengalami kerugian fiskal untuk tahun 2006 sebesar Rp500.000.000,00. Sementara PPh yang dipotong dan dipungut oleh pihak lain sebesar Rp175.000.000,00. Oleh karena PT ACI mengalami rugi fiskal, maka tidak akan ada PPh yang terutang. Dengan demikian, maka kredit pajak (PPh yang dipotong dan dipungut oleh pihak lain) akan lebih besar dari PPh terutang sehingga PPh yang terutang menjadi tidak ada. Dalam hal ini, maka PT ACI tidak akan memiliki angsuran PPh Pasal 23 untuk tahun pajak selanjutnya.

2. Bila PPh yang Dipotong atau Dipungut oleh Pihak Lain Lebih Besar dari PPh Terutang Di Akhir Tahun

Dalam hal ini, lebih bayar disebabkan pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak lain dan jumlahnya lebih besar dari PPh setahun. Dalam hal ini, dapat dipastikan tidak ada PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk tahun pajak selanjutnya. Simak ilustrasi di bawah ini.

Contoh 4:

Di Tahun Pajak 2006, PT ABC memiliki pajak terutang dari Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp200.000.000,00, angsuran PPh Pasal 25 sepanjang tahun 2006 yang telah dibayar oleh PT ABC adalah Rp100.000.000,00, sedangkan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dalam Tahun Pajak 2006 adalah sebesar Rp250.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, SPT Tahunan PPh PT ABC untuk Tahun Pajak 2006 akan mengalami lebih bayar sebesar Rp150.000.000,00.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2007 adalah:

PPh terutang berdasarkan Penghasilan Kena Pajak tahun 2006 Rp200.000.000,00

Dikurangi dengan:

PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain Rp250.000.000,00 (-)

Jumlah………………………………………………………………………………………….. ( -)

3. Lebih Bayar, Namun PPh yang Dipotong atau Dipungut oleh Pihak Lain Lebih Kecil dari PPh Setahun

Dalam hal ini, lebih bayar disebabkan pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak lain, namun jumlahnya lebih kecil dari PPh setahun. Dalam hal ini, masih ada PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk tahun pajak selanjutnya. Lihat ilustrasi contoh berikut ini.

Contoh 5:

Di Tahun Pajak 2006, PT ABC memiliki pajak terutang dari Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.000.000,00, angsuran PPh Pasal 25 sepanjang tahun 2006 yang telah dibayar oleh PT ABC adalah Rp100.000.000,00, sedangkan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dalam Tahun Pajak 2006 adalah sebesar Rp104.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, SPT Tahunan PPh PT ABC untuk Tahun Pajak 2006 akan mengalami lebih bayar sebesar Rp85.000.000,00.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2007 adalah:

PPh terutang berdasarkan Penghasilan Kena Pajak tahun 2006 Rp120.000.000,00

Dikurangi dengan:

PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain Rp104.000.000,00 (-)

Jumlah………………………………………………………………………………………….. Rp 6.000.000,00

Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak selanjutnya adalah:

1/12 x Rp6.000.000,00 Rp 500.000,00

4. Lebih Bayar Karena Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Sebelumnya

Apabila lebih bayar terjadi karena PPh Pasal 25. Seperti kondisi di atas, dapat dipastikan masih ada PPh Pasal 25 yang masih harus dibayar untuk tahun pajak selanjutnya. Cermati ilustrasi dari contoh 6 berikut ini.

Contoh 6:

Di Tahun Pajak 2006, PT ABC memiliki pajak terutang dari Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp200.000.000,00. PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2006 yang telah dibayar oleh PT ABC adalah Rp82.000.000,00, sedangkan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dalam Tahun Pajak 2006 adalah sebesar Rp140.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, SPT Tahunan PPh PT ABC untuk Tahun Pajak 2006 akan mengalami lebih bayar sebesar Rp22.000.000,00.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2007 adalah:

PPh setahun untuk Tahun Pajak 2006 Rp200.000.000,00

Dikurangi dengan:

PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain Rp 140.000.000,00 (-)

Jumlah………………………………………………………………………………………….. Rp 60.000.000,00

Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak selanjutnya adalah:

1/12 x Rp60.000.000,00 Rp 5.000.000,00

5. Lebih Bayar Karena PPh Pasal 25 Sama Dengan Jumlah PPh yang Dipotong atau Dipungut

Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 25 sama dengan jumlah PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain. Konsekuensi dari kondisi yang keempat ini sama seperti kondisi yang ketiga, yaitu masih ada PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk tahun pajak selanjutnya.

Contoh 7:

Di Tahun Pajak 2006, PT ABC memiliki pajak terutang dari Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp100.000.000,00. PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2006 yang telah dibayar oleh PT ABC adalah Rp76.000.000,00, sedangkan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dalam Tahun Pajak 2006 adalah sebesar Rp76.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, SPT Tahunan PPh PT ABC untuk Tahun Pajak 2006 akan mengalami lebih bayar sebesar Rp52.000.000,00.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2007 adalah:

PPh setahun untuk Tahun Pajak 2006 Rp100.000.000,00

Dikurangi dengan:

PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain Rp 76.000.000,00 (-)

Jumlah………………………………………………………………………………………….. Rp 24.000.000,00

Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak selanjutnya adalah:

1/12 x Rp24.000.000,00 Rp 2.000.000,00

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi lebih bayar sekalipun, tidak berarti angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun selanjutnya tidak dilakukan. Perlu ditelusuri lebih lanjut penyebab terjadinya lebih bayar. Apabila kondisi lebih bayar dalam SPT Tahunan PPh terjadi karena kerugian fiskal sehingga kredit pajak menjadi lebih besar, maka dalam kondisi ini angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak selanjutnya tidak akan muncul. Hal ini juga berlaku apabila SPT Tahunan PPh dalam posisi laba sehingga masih ada PPh terutang, namun pajak yang dipotong dan dipungut oleh pihak lain lebih besar dari jumlah PPh yang terutang.