Bila Non PKP Memungut PPN

Faktur Pajak merupakan sarana pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang pemungutannya diamanahkan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun dalam praktiknya ternyata ada pihak-pihak yang belum dikukuhkan sebagai PKP yang menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN atas transaksi penyerahan yang dilakukannya.

Salah satu ciri atau karakteristik dari pengenaan PPN di Indonesia adalah digunakannya sistem faktur. Sistem faktur ini, telah digunakan sejak pertama kali diterapkannya ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Hingga untuk ketiga kalinya UU Nomor 8 Tahun 1983 tersebut diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, sistem faktur masih tetap digunakan.

Sebagai bukti pemungutan PPN, Faktur Pajak harus dibuat (baca: diterbitkan) dalam setiap transaksi penyerahan barang dan atau jasa yang terutang PPN. Dalam hal ini ada beberapa syarat terutangnya PPN yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP). Akan tetapi, pembuatan Faktur Pajak itu sendiri pun tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang atau bahkan perusahaan yang berbentuk badan sekalipun ternyata tidak secara otomatis bisa menerbitkan Faktur Pajak.

Siapa yang Harus Membuat Faktur Pajak

Siapa yang harus membuat Faktur Pajak? tentunya adalah pihak yang melakukan penyerahan yang terutang PPN. Lalu apakah semua pihak yang melakukan penyerahan yang terutang PPN harus menerbitkan Faktur Pajak? ternyata tidak. Pada intinya Faktur Pajak hanya bisa dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan barang atau jasa yang terutang PPN.

Jadi subjek yang harus menerbitkan Faktur Pajak adalah PKP atau pengusaha yang sudah seharusnya dikukuhkan sebagai PKP. Lalu siapa PKP itu? Mengacu pada ketentuan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU PPN, PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Yang dimaksud dengan pengusaha dalam konteks di atas adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 15 di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua pengusaha otomatis statusnya menjadi PKP. Secara implisitpun ketentuan UU PPN kita menggariskan bahwa pengusaha kecil dengan batasan tertentu tidak diwajibkan menjadi PKP. Hal itu sebenarnya adalah fasilitas yang diberikan UU untuk memberi kemudahan dan penyederhanaan (simplifikasi) terutama bagi pengusaha kecil yang bersangkutan. Namun fasilitas ini hanya berlaku untuk pengusaha kecil yang memenuhi batasan sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.03/2003, ditetapkan bahwa pengusaha kecil yang tidak diwajibkan untuk menjadi PKP adalah pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Jadi, apabila omzet usaha bruto pengusaha kurang dari Rp600.000.000,00, maka pengusaha yang bersangkutan boleh memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP atau tidak. Apabila memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP, maka Pengusaha Kecil tersebut wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) huruf a Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001.

Apabila Pengusaha Kecil yang tidak memilih dikukuhkan sebagai PKP tersebut sampai dengan suatu Masa Pajak dalam suatu tahun buku memiliki peredaran bruto yang nilai seluruhnya telah melampaui batasan pengusaha kecil, maka pengusaha yang bersangkutan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP. Kewajiban tersebut harus dilakukan paling lambat akhir Masa Pajak berikutnya.

Konsekuensi bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP adalah timbulnya kewajiban untuk melakukan pemungutan PPN atas setiap penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukannya. Di sisi lain, wajib pajak yang sudah PKP berhak untuk mengkreditkan Pajak Masukan yang dipungut oleh pihak lain. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tidak memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP, terhadap setiap penyerahan BKP/JKP yang dilakukannya tidak terutang PPN dan Pengusaha yang bersangkutan dilarang memungut PPN. Selain itu, pengusaha tersebut juga tidak memiliki hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan atas PPN yang dipungut oleh pihak lain. (lihat skema pemungutan PPN).

Dalam praktiknya, tidak semua pengusaha (baca: Wajib Pajak) sadar akan kewajibannya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Meskipun omzet usaha dalam suatu Tahun Pajak telah melebihi batasan enam ratus juta rupiah, namun ada kalanya Wajib Pajak enggan untuk mendaftar sebagai PKP. Pasalnya dengan dikenainya PPN, maka hal ini tentu akan mempengaruhi harga jualnya, sehingga harga yang diserahkan oleh PKP menjadi kurang kompetitif. Lalu bagaimana apabila hal ini terjadi?

Konsekuensi apabila hal ini terjadi adalah pengusaha yang bersangkutan dapat dikukuhkan secara jabatan oleh Fiskus. Selain itu, ada hal lain yang juga menanti yaitu PKP yang bersangkutan harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan. Selain itu terdapat penambahan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) karena tidak menerbitkan Faktur Pajak seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (4) UU KUP.

Selain dapat dikenai sanksi bunga, yang lebih seram lagi Wajib Pajak juga bisa dikenai sanksi pidana seperti yang dinyatakan dalam Pasal 39 UU KUP. Ancamannya pun tidak tingan, karena Wajib Pajak bisa dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Bila Non PKP membuat Faktur Pajak

Dalam praktiknya, ada juga wajib pajak yang belum dikukuhkan sebagai PKP memungut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak untuk rekanannya. Hal ini bisa dilatarbelakangi karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan wajib pajak.

Kasus ini setidaknya pernah penulis termui dalam sebuah konsultasi perpajakan yang penulis terima. Pada saat itu PT ABC (bukan nama sebenarnya) adalah sebuah perusahaan yang baru saja berdiri, PT ABC telah memiliki NPWP namun belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ada rekanan dari PT ABC yang meminta dibuatkan Faktur Pajak atas transaksi yang dilakukannya, maka PT ABC kemudian membukakan Faktur Pajak dan memungut PPN dari rekanannya.

Dalam transaksi tersebut, rekanan PT ABC tidak mengetahui jika PT ABC belum dikukuhkan sebagai PKP. Sementara untuk pengisian Faktur Pajaknya Nomor PKP penjual dan nomor pengukuhan PKP PT ABC merujuk pada Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tanggal yang ada dalam Surat Keterangan Terdaftar dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PT ABC terdaftar. Atas PPN yang dipungut tersebut, PT ABC pun kemudian menyetorkannya ke kas negara. Lalu bagaimana implikasi perpajakan atas penerbitan Faktur Pajak standar yang diterbitkan oleh PT ABC sebelum PT ABC menjadi PKP?

Implikasi dari pemungutan PPN oleh PT ABC sebelum dikukuhkan sebagai PKP dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi penerbit Faktur Pajak (PT ABC) dan dari sisi pembeli.

Sebenarnya dalam ketenuan Pasal 14 ayat (1) UU PPN sendiri telah ditegaskan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tidak diperkenankan membuat Faktur Pajak. Apabila hal ini dilakukan, maka orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tersebut harus menyetorkan sejumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke kas negara.

Sanksi yang akan diterima oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP, namun telah memungut PPN di antaranya adalah apabila hal itu ditemukan dalam pemeriksaan pajak, maka sanksi yang akan dikenakan adalah selain ditagih pokok pajaknya, wajib pajak juga akan dikenai sanksi bunga Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Selain itu masih ada sanksi lain yang juga bisa dikenakan kepada pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP, tetapi menerbitkan Faktur Pajak. sanksi tersebut –sesuai dengan Pasal 14 UU KUP—berupa sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Sanksi pokok pajak beserta bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU KUP akan ditagih dengan Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). sedangkan untuk sanksi bunga seperti dimaksud dalam Pasal 14 UU KUP akan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP).

Contoh 1:

PT ABC yang belum dikukuhkan sebagai PKP membuat Faktur Pajak untuk beberapa rekanannya selama masa pajak Desember 2006 dengan data sebagai berikut:

  Dasar Pengenaan Pajak = Rp 10.000.000,00

  PPN 10% x Rp10.000.000,00 = Rp 1.000.000,00 dipungut dan dibuat Faktur Pajaknya pada bulan Desember 2006.

Sanksi Pajak yang dikenakan:

Atas kasus tersebut diterbitkan STP-PPN dan SKP-PPN, apabila PT ABC tersebut tidak menyetor PPN yang telah dipungut dan dibuat Faktur Pajaknya, dan diketahui sesudah diperiksa atau berdasarkan keterangan lain:

      STP-PPN menagih denda Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP ) sebesar Rp200.000,00

      SKP-PPN menagih PPN yang telah dipungut dan dibuat Faktur Pajaknya.

o PPN yang tidak disetor: 10% x Rp10.000.000,00 = Rp1.000.000,00

o Bunga Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP). Misalkan SKP-PPN diterbitkan bulan April 2007:

o 4 x 2% x Rp1.000.000,00 ……………………………         = Rp      80.000,00

o Jumlah yang ditagih dengan SKP PPN ….           = Rp 1.080.000,00

 

Apabila ternyata PT ABC telah menyetorkan pajak yang dipungutnya pada bulan desember 2006 tersebut pada tanggal 15 Januari 2007, maka pokok pajak dan sanksi bunga yang ada dalam SKP tidak akan ditagih karena PT ABC telah menyetorkan PPN yang dipungutnya tepat pada waktunya ke kas negara. Namun demikian PT ABC tetap akan dikenai sanksi yang ada dalam STP.

Dari sisi pembeli, sebagai pihak yang menerima Faktur Pajak Masukan dari pengusaha yang belum dikukuhkan menjadi PKP tentu akan sangat dirugikan karena Faktur Pajak yang diterbitkan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tentunya merupakan Faktur Pajak cacat. Artinya Faktur Pajak tersebut tidak boleh dikreditkan oleh pihak pembeli BKP dan atau JKP.

Bahkan apabila dalam pemeriksaan pajak, ditemukan bahwa ada Faktur Pajak cacat yang dikreditkan sebagai pajak masukan oleh PKP pembeli, maka hal ini tidak hanya akan dikoreksi oleh pemeriksa pajak akan tetapi juga akan dikenai sanksi pajak hingga 100% dari PPN yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (3) UU KUP.

Contoh 2

PT XYZ pada Masa Pajak Januari sebagai pihak pembeli BKP dari PT ABC telah menerima Faktur Pajak masukan yang diterbitkan oleh PT ABC sebelum PT ABC dikukuhkan sebagai PKP.

Dalam SPT-Masa PPN bulan januari dilaporkan sebagai berikut:

Pajak Keluaran …………………………..    Rp 100.000.000,00

Pajak Masukan ………………………… *) Rp 150.000.000,00 (-)

Lebih Bayar ……………………………….   Rp 50.0000.000,00

*) Termasuk Pajak Masukan, sebesar Rp20.000.000,00 dari PT ABC.

Dalam Masa Pajak Juni 2007 dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT ABC tidak memenuhi ketentuan formal pengkreditan pajak masukan karena tidak sesuai dengan ketentuan pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf a UU PPN. Atas kurang bayar karena koreksi pemeriksa pajak tersebut juga diterbitkan SKPKB dalam bulan yang sama.

Kelebihan ini sudah dikompensasikan/diberikan pengembalian. Setelah diadakan pemeriksaan diketahui sebagai berikut:

Pajak Keluaran …………………………….Rp 100.000.000,00

Pajak Masukan …………………………… Rp 130.000.000,00 (-)

Lebih Bayar ……………………………….  Rp  30.000.000,00

Atas kasus ini dikeluarkan SKP PPN sebagai berikut:

Kekurangan pokok pajak (Rp50.000.000,00 – Rp30.000.000,00)  = Rp20.000.000,00

Sanksi bunga: ( 5 bulan x 2% x Rp20.000.000,00                             = Rp  2.000.000,00

Sanksi administrasi Pasal 13 ayat (3) UU KUP

berupa kenaikan: 100% x Rp. 20.000.000,00 ………………….             = Rp20.000.000,00 (+)

Jumlah pajak terutang                                                                        = Rp42.000.000,00

 Hal yang kurang begitu menyenangkan pun sepertinya akan tetap dirasakan oleh pihak pembeli apabila dengan inisiatifnya sendiri pihak PKP pembeli menyadari keabsahan Faktur Pajak tersebut, kemudian melakukan pembetulan SPT Masa PPN-nya karena Faktur Pajak tersebut sudah terlanjur dilaporkan sebagai pajak masukan.

Meskipun PKP pembeli tidak akan menerima sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah pajak terutang, akan tetapi apabila hasil pembetulan tersebut menjadi kurang bayar, maka PKP tetap harus membayar sejumlah pajak yang kurang bayar ditambah dengan sanksi bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itusesuai dengan Pasal 8 ayat (2) UU KUP.

Boleh Dimintakan Restitusi

Apabila ternyata PKP pembeli menyadari bahwa atas pembelian BKP atau JKP yang dilakukannya tidak seharusnya dipungut PPN, maka pihak PKP pembeli masih boleh untuk meminta kembali PPN yang telah dipungut oleh penjual BKP. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 berikut ini.

”(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta kembali Pajak yang salah dipungut tersebut.

(4) Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.

Dari ketentuan di atas, dapat kita simpulkan bahwa apabila PPN tersebut ternyata sudah dikreditkan atau sudah dibiayakan oleh pihak pembeli, maka PPN yang tidak seharusnya dipungut tersebut tidak dapat lagi dimintakan kembali. hal ini tentu sangat merugikan pihak pembeli BKP dan atau JKP.

Penutup

Bagaimanapun implikasi perpajakan atas diterbitkannya Faktur Pajak oleh Non PKP jelas akan sangat merugikan pihak pembeli. Jika dihitung perbandingan sanksi perpajakan yang mungkin dikenakan kepada pembeli dan penjual BKP tentu sanksinya sangat memberatkan PKP pembeli.

Tentang Teguh Wahyono
Hanya orang biasa yang mencoba untuk selalu memperbaiki diri dan memberikan manfaat untuk orang lain

43 Responses to Bila Non PKP Memungut PPN

  1. Dwix says:

    Siang pak teguh,
    Pak, apakah kita memang harus bayar terhadap PPN yang terutang sedang kita belum menjadi PKP ( bLM ada ketetapan dari kantor pajak, walaupun omset kita sudah lebih dari 600 jt ). Bagaimana cara meringankan pembayaran kita terhadap PPN dan sanksi yang sudah ditetapkan dari kantor pajak.

    Thanks
    Dwi handayani

  2. Dendy says:

    Pa Teguh,

    Untuk mendapatkan surat keterangan NON PKP harus kemana ya pa..??

    Salah satu customer saya meminta surat keterangan tersebut, saya buta pajak pa..:-(

    Mohon bantuannya, karena semua tagihan saya tidak dapt tertagih karena surat tersebut.

    Salam,
    Dendi Awaludin

  3. Teguh Wahyono says:

    Pa Dendi,

    Sepanjang sepengetahuan saya hingga kini otoritas pajak (KPP) belum pernah menerbitkan surat keterangan belum PKP.

    Tapi, mungkin solusinya Bapak bisa membuat surat pernyataan bermaterai yang menaytakan bahwa perusahaan bapak memang belum menjadi PKP.

    Adanya permintaan surat keterangan belum PKP oleh pihak pembeli ini merupakan implikasi dari penerapan ketentuan pasal 33 UU KUP mengenai tanggung jawab renteng. di mana pembeli bisa ditagih PPN-nya apabila tidak dapat menunjukkan bahwa dirinya belum membayar PPN. Namun sebenarnya, klausul tanggung jawab renteng ini hanya dapat dikenakan apabila tidak diketahui siapa penjualnya.

    Di UU KUP yang baru, ketentuan mengenai tanggung jawab renteng sudah dihapuskan. (cek pasal 33 UU Nomor 28 Tahun 2007).

  4. Fraya says:

    dear bpk. teguh

    sebelumnya terima kasih sekali telah membuka forum sharing ini, dimana saya sangat membutuhkan tempat bertanya dengan jawaban – jawaban awam mengenai pajak.

    yang saya ingin tanyakan adalah :

    1. benarkah jika kita non-pkp, maka rumors yang saya dengar bahwa pembeli pkp akan sedikit “ogah” berurusan dengan kita? jika benar, mengapa ?

    2.saat ini saya non-pkp, namun apabila suatu hari saya memutuskan untuk menjadi pengusaha wajib pajak, tata cara apa yang harus saya jalani untuk menempuh prosedur – prosedurnya? (saya dengar2 juga agak njelimet )

    terima kasih.

    regards,

    fraya

  5. Teguh Wahyono says:

    Dalam praktiknya, memang ada beberapa Wajib Pajak yang sudah PKP ‘ogah’ berurusan dengan penjual yang belum berstatus sebagai PKP. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran mereka bila mereka akan dikenai klausul tanggung jawab renteng ketika dilakukan pemeriksaan pajak oleh fiskus.

    Namun Bapak jangan khawatir, saya kira ada juga PKP penjual yang lebih suka berurusan dengan penjual yang belum PKP. Pasalnya, harga jual barang akan lebih murah dan tidak perlu membayar PPN.

    Cara untuk mendapatkan PKP sangat mudah dan tidak dikenakan biaya, Bapak tinggal datang ke KPP (Bagian TUP / Tata Usaha Perpajakan) dimana Anda terdaftar dengan membawa bukti identitas badan usaha.

    KPP menerbitkan Surat Keterangan PKP paling lama pada hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran beserta persyaratannya diterima secara lengkap dan dilakukan peninjauan lokasi.

    lebih lengkapnya bapak bisa membaca KEPutusan Dirjen Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001 dan perubahannya yang ada dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-160/PJ./2007.

    salam

    Teguh

  6. tommy says:

    Salam pak Teguh,

    Perusahaan kami ada setiap tahun diperiksa oleh Tim Pemeriksa Pemerintah tingkat Nasional yang dilakukan dalam rangka pendapat atas Lapkeu perusahaan kami. Dalam pemeriksaan terdapat transaksi penyewaan gedung oleh perusahaan kami kepada Orang Pribadi. Atas sewa tersebut kami mengenakan PPh 4 (2) sebesar 10% walaupun orang pribadi tersebut non PKP dan tidak memiliki NWP. namun dari tim pemeriksa meminta atas sewa tersebut dikenakan PPN juga, padahal sepengetahuan kami non PKP dilarang memungut PPN. Bagaimana menurut bapak atas transaksi sewa tersebut, apakah dikenakan PPN atau tidak. atas jawabannya diucapkan terima kasih

  7. Teguh Wahyono says:

    Menurut saya, PPN hanya terutang apabila syarat sebagai PKP dipenuhi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 4 huruf a UU PPN
    “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
    a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;”

    yang dimaksud dengan pengusaha di sini adalah PKP atau pengusaha yang seharusnya PKP.

    Nah, dalam mekanisme PPN ini, yang diwajibkan untuk memungut PPN adalah pihak yang melakukan penyerahan atau pihak penjual. perhatikan kata-kata dalam pasal 4 huruf a UU PPN yang menekankan “penyerahan BKP”.

    Hal ini berarti bahwa apabila kita bertransaksi dengan pihak yang belum PKP, maka tidak akan ada PPN yang dipungut. Selain itu, kewajiban pemungutan PPN tersebut tidak dapat dibebankan kepada pihak pembeli atau pengguna jasa.

    Menanggapi kasus dan permasalahan yang Bapak sampaikan, sebagai pihak penyewa tanah dan bangunan bapak telah menunaikan kewajiban perpajakan bapak yaitu memotong PPh Pasal 4 (2) meskipun dibayarkan kepada WPOP yang belum ber-NPWP dan belum PKP.

    Hanya sampai di situ saja kewajiban Bapak sebagai pengguna jasa, karena PPN semestinya dipungut oleh WPOP tersebut sebagai pemberi jasa. Dengan belum menjadi PKP WPOP tersebut, hal ini tidak menyebabkan perusahaan bapak yang telah berstatus sebagai PKP untuk memungut PPN atau melakukan penyetoran sendiri PPN yang semestinya dipungut oleh WPOP tersebut.

    Jika memang pemeriksa pajak ingin menagih PPN-nya, semestinya pemeriksa pajak harus menagihnya dari WPOP tersebut. Jika memang WPOP tersebut sudah seharusnya menjadi PKP, maka pemeriksa pajak dapat menerbitkan SKP untuk menagih PPN yang semestinya dipungut oleh WPOP tersebut. Namun apabila WPOP tersebut belum seharusnya menjadi PKP (omsetnya kurang dari 600 juta), maka pemeriksa tidak dapat begitu saja menagih PPN-nya.

    Demikian opini saya tentang permasalahan bapak, semoga membantu.

    Salam kenal,
    Teguh

  8. metha says:

    Dear Pak Teguh,

    Terima kasih atas kesempatan bpk membuka forum ini. Ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai permohonan pengukuhan PKP. Status kantor kami adalah sewa pak, maka kami harus melampirkan surat perjanjian sewa menyewa. Ternyata, kami (perusahaan) juga harus menyetor PPh 10% dari nilai perjanjian tersebut.
    Sedangkan ketika perjanjian sewa-menyewa tersebut dibuat, perusahaan kami belum terbentuk. Pegawai pajak mengatakan bahwa kami harus menyetorkan sejumlah uang (10% dari nilai perjanjian) lalu melaporkannya. Baru setelah itu kami bisa ambil tanda pengukuhan PKP kami.

    Apakah memang seperti itu prosedur nya? Mengingat, yang membuat perjanjian ada orang pribadi (atasan saya) dan bukan atas nama perusahaan.

    Terima kasih atas perhatiannya, mohon pencerahannya dari bpk.

  9. Teguh Wahyono says:

    Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan berikut ini adalah permasalahan yang dapat saya tangkap. Mohon dikoreksi jika persepsi saya ternyata salah.

    Semestinya, kewajiban pemotongan PPh akan muncul apabila perusahaan Ibu telah terbentuk dalam hal ini perusahaan Ibu sudah ber-NPWP.

    Secara administratif NPWP diperlukan sebagai sarana untuk menerbitkan bukti potong dan melaporkan pemotongan pajak.
    Dengan asumsi bahwa pada saat itu belum ada NPWP perusahaan, maka tentunya perusahaan Ibu belum dapat melakukan pemotongan PPh-nya.

    Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan, juga dapat saya ketahui bahwa yang membuat perjanjian adalah direktur di perusahaan Ibu yang nota bene bukan pemotong pajak, (hanya orang pribadi yang pembukuan dan yang melakukan pekerjaan bebas (tenaga ahli: akuntan, arsitek, dll) saja yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan PPh atas sewa tanah dan bangunan). Lihat KEP-50/PJ./1996.

    Dengan asumsi direktur anda bukan orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang melakukan pembukuan, maka semestinya direktur Anda pun, meskipun telah ber-NPWP tidak wajib memotong PPh pada saat itu.

    Perlu kiranya Ibu ketahui bahwa meskipun pihak Ibu (direktur atau perusahaan) tidak melakukan pemotongan PPh atas sewa tersebut, pihak yang menerima penghasilan atas sewa tersebut wajib menyetor sendiri PPh finalnya ke kas negara (lihat KEP-227/2002)).

    Terkait dengan kewajiban PKP, kasus yang IBu sampaikan tadi sangat tidak relevan dengan persyaratan untuk menjadi PKP. JIka petugas pajaknya meminta hal seperti itu, mungkin Ibu dapat meminta konfirmasi kepada kepala KPP Ibu untuk meminta penegasan secara tertulis.

    Setahu saya tidak pernah ada persyaratan seperti itu.

  10. metha says:

    Dear Pak Teguh,

    Sebelumnya saya ucapkan terima kasih pak atas pencerahannya. Saat ini sedang proses permohonan pengukuhan menjadi PKP.

    Sebelum menjadi PKP (tapi telah memiliki NPWP) perusahaan kami membuat faktur pajak standart, hal ini karena ketidaktahuan kami bahwa WP harus minta pengukuhan PKP terlabih dulu. Kami kira WP bisa langsung menarik PPN 10% apabila telah memiliki NPWP.

    Setelah kami dikukuhkan sebagai PKP, langkah apa yg harus kami lakukan untuk mengurus kekeliruan ini? Baik ke pajak nya, maupun ke customer kami. Apakah kami akan didenda 200%? Apa customer kami juga akan dirugikan dalam hal ini?

    Sebagai informasi, kami sudah menyetorkan PPN 10% tersebut ke KPP sebelum tgl 15, dan melaporkan. Tetapi ketika melaporkan, kami baru tau kalau kami blum terdaftar sebagai PKP.

    Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Kami mohon penjelasan dari Bpk.

    Yth. Ibu meta

    Sesuai dengan Pasal 14 UU PPN:
    “Pasal 14
    (1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
    (2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.”

    Apa yang Ibu lakukan dengan menyetorkan PPN yang telah Ibu setor ke kas negara sudah sesuai dengan ketentuan di atas.

    Kemudian, atas tindakan Ibu memungut PPN sebelum dikukuhkan sebagai PKP hal tersebut biasanya dalam praktiknya akan mengakibatkan rekanan Ibu tidak dapat mengkreditkan pajak masukan atas pembelian barang yang rekanan Ibu lakukan.

    Namun demikian, saya berpendapat bahwa sepanjang PPN yang Ibu pungut sudah disetorkan ke kas negara, maka semestinya rekanan Ibu dapat mengkreditkan PPN masukannya. Hanya saja hal ini tentunya akan menyulitkan rekanan Ibu dalam melakukan konfirmasi ke KPP Ibu bila ternyata Faktur Pajak dan SPT Masa PPN yang Ibu laporkan sebelum Ibu dikukuhkan sebagai PKP ditolak oleh KPP.

    Demikian, terima kasih
    teguh

  11. Wisnu says:

    Bpk. Yth.
    Mohon bantuannya untuk menjelaskan permasalahan kami.
    “Bagaimana kaitannya PPN dengan Obyek yang diasuransikan demikian juga jika terjadi kerugian, hitungan untuk nilai kerugian apakah termasuk PPN.”
    Masalah ini sering menimbulkan dispute saat terjadi klaim terutama untuk asuransi dan reasuransi.
    Terima kasih atas bantuan Bapak.

  12. Teguh Wahyono says:

    Yth. Bapak wisnu,

    Mohon maaf saya belum bisa menangkap sepenuhnya maksud dari pertanyaan yang bapak sampaikan.

    Menurut saya kita harus melihat bahwa PPN merupakan pajak objektif yang dikenakan berdasarkan peristiwa hukum yang menyebabkan suatu barang atau jasa dapat terutang PPN.

    Sesuai dengan Pasal 4A ayat (3) UU PPN, jasa asuransi bukan objek PPN.

  13. Ridwan Yani says:

    Yth: Bpk.Teguh
    Mohon penjelasannya atas perlakuan pajak yang kami hadapi.
    Perusahaan kami menggunakan Jasa Hukum ADI LAW FIRM yang belum mempunyai NPWP dan belum PKP, pada saat melakukan penagihan jasa hukum tersebut, apakah perusahaan kami juga membayar PPN 10%, dan apakah perusahaan juga akan memungut PPh23 atas Jasa. Mohon penjelasanya pak.terima kasih.

  14. cathy says:

    Pak Wisnu,

    Salam kenal..saya adalah salah satu pengunjung blog anda yang sangat menarik.

    Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan:

    Apakah selalu yang punya siup pasti sudah pasti pkp?

    saya ingin bertanya juga apakah kalo saya pengen buat faktur pajak standart u/ pengusaha kecil yang punya ijin siup, maka atas nama siapa faktur pajaknya dibuat?
    apakah sah bila dibuat atas nama pribadi pemilik sesuai dengan Npwp pribadi yang ada pada siup tersebut atau bolehkah menggunakan nama merek dagang(UD…) yang tertera pada siup tersebut?

    Terima kasih

  15. rivai says:

    Dear Pak Teguh,

    Pak Teguh mohon informasinya, pers. kami baru berdiri dgn status non PKP dan kami mengadakan transaksi yang nilainya cukup besar katakan melebihi Rp. 600 Juta (saat ini pers. kami sedang mengurus TDP dan SIUP sbg salah satu syarat menjadi PKP), Pertanyaan saya :

    1.apakah kami wajib mengenakan PPN dengan mekanisme FP Sederhana ?
    2. Apabila dalam satu bulan stlh tanggal pembyaran transaksi diterima, dapatkah saya menerbitkan FP standar krn sesuai dgn peraturan FP standar dapat dibuat paling lama satu bulan stlh tgl pembayaran, dan jika bisa tanggal mana yg saya cantumkan tgl penerimaan pembayaran (sblm dikukuhkan sbg PKP) atau tgl satu bln setelah penerimaan pembayaran.
    3. Apabila setelah lewat masa satu bulan setelah pembayaran apakah kami masih bisa menerbitkan FPS ?
    4. Jika tidak apakah ada konsekuensinya jika nanti ada pemeriksaan sedangkan jumlah penyerahan selama satu tahun tidak sama dengan PPN keluaran yang kami bayarkan krn adanya penyerahan sebelum PKP yang tidaj kami pungut PPN nya?

    Terima kasih Pak Teguh atas informasinya.
    Regards,
    Rivai

  16. Teguh Wahyono says:

    Perusahaan Anda tidak perlu membayar PPN, karena yang harus memungut PPN adalah pihak law firm. namun di sisi lain perusahaan Anda tetap harus memotong PPh atas jasa hukum tersebut. karena sebgai pemberi penghasilan, punya kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh (sepanjang ada objeknya) tanpa melihat apakah penerima penghasilan sudah ber-NPWP atau belum.

  17. Teguh Wahyono says:

    yth. bpk rivai,

    Kewajiban pemungutan PPN baru dilakukan apabila perusahaan Bapak telah menjadi PKP. Terkait dengan ekualisasi PPh-PPN saat pemeriksaan, bapak dapat menjelaskannya kepada fiskus mengapa terjadi perbedaan antara omset dalam SPT Masa PPN dan PPh badan.

    Perlu bapak pahami bahwa antara omset PPh badan dan omset PPN dapat berbeda. Namun sepanjang dapat dijelaskan dengan baik dan pemeriksan pajaknya juga objektif, semestinya hal ini tidak menjadi masalah.

  18. Alexcius Herman says:

    Saya berkerja di perusahaan migas, menurut peraturan menteri no NOMOR 11/PMK.03/2005 kontraktor migas ditunjuk sebagai pemungut ppn (WAPU) yang ingin saya tanyakan :

    – Apabila supplier rekanan non PKP, apakah tetap harus memungut ppn ? supplier rekanan diwajibkan menerbitkan faktur pajak tapi yang menyetorkan dari sisi kontraktor

    thanks

    • Teguh Wahyono says:

      Menurut saya tidak terutang PPN atas transaksi tersebut. Pasalnya, meskipun yang harus memungut PPN adalah WAPU, namun faktur pajak diterbitkan oleh supplier. Karenanya apabila supplier non PKP, maka secara ketentuan tidak boleh menerbitkan faktur pajak standar.

      Pada prinsipnya penyerahan BKP (sesuai Pasal 4 UU PPN dan penjelasannya) hanya akan terutang PPN bla memenuhi syarat:
      – yang menyerahkan PKP
      – diserahkan dalam daerah pabean
      dalam rangka kegiatan usaha.

      Dalam hal ini yang menyerahkan BKP bukan PKP. karenanya tidak terutang PPN.

  19. bayfx says:

    mau ikutan tanya
    kalo terlanjur membuat faktur dan membayar SSP padahal belum PKP.
    kira-kira penyelesaiannya bagaimana…?

    kejadian ini pernah sayah temui beberapa kali. kebanyakan karena tidak rahu. tapi akhirnya mereka hanya melakukan pembatalan faktur. dan kerugian karena SSP yang telah dibayarkan menjadi tanggungan perusahaan.

    apakah bisa di restitusi/dikompensasi ke masa dimana telah PKP atau bisa di pindahbukukan….?

    • Teguh Wahyono says:

      Menurut saya sepanjang disetorkan ke kas negara mestinya tidak terlalu masalah. tapi di sisi pembeli faktur pajaknya tentu akan menjadi cacat sebab diterbitkan oleh non PKP. Kita juga perlu berhati2 sebab dalam Pasal 39A UU KUP sudah diberikan ancaman bagi mereka yang non PKP tapi menerbitkan faktur pajak, berikut petikannya.

      Pasal 39A
      Setiap orang yang dengan sengaja:
      a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
      b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

  20. leni says:

    Yth. Pak Teguh
    Saya sangat awam tentang pajak dan banyak belajar dari blog bapak. Yang ingin saya tanyakan: apakah kontraktor migas secara otomatis menjadi wapu atau perusahaan tersebut harus melaporkannya terlebih dahulu ke kppnya? terima kasih atas jawaban Bapak.

  21. Awal Wiratmo says:

    Pak Teguh, kasus yang Bapak paparkan di atas menimpa saya. Tapi mulai bulan Februari 2009 ini saya sudah PKP, cuma saya sudah memungut PPN dari bulan September 2007 sampai Bulan februari 2009. Total PPN yang tidak saya laporkan adalah 12juta rupiah. Mohon solusi terbaik untuk kasus saya

    Terima kasih

  22. yuli says:

    Yth. Pak Teguh, saya sangat awam dengan pajakwalaupun saya bekerja di bagian accounting. mohon pencerahan dari bapak mengenai masalah saya, perusahaan tempat saya bekerja belum dikukuhkan sbg PKP sampai saat ini padahal sudah seharusnya menjadi PKP (hal ini baru sy ketahui stlh sy baca blog bp)yg mjd masalah adl sebulan lalu perusahaan sy dihimbau oleh KPP untuk menjadi PKP dan membayar PPN th 2006-2007. untuk menjadi PKP pemilik perusahaan tdk keberatan tetapi untuk membayar PPN th yg lalu Pemilik merasa keberatan krn perusahaan memang tdk memungut PPN kpd konsumen. mohon solusi atas permasalahan ini, terima kasih

    • Teguh Wahyono says:

      Apa yang Ibu alami adalah dampak dari kurangnya awareness dari perusahaan Ibu untuk menjadi PKP tepat waktu. dalam hal ini ketentuan UU Pajak kita memang telah menggariskan bahwa bila telat menjadi PKP, maka kewajiban pajak subjektifnya bisa ditarik mundur sejak si pengusaha semestinya menjadi pkp. artinya dalam hal ini fiskus akan menagih PPN-nya sejak perusahaan ibu semestinya menjadi PKP.

  23. hary says:

    Yth Pak Teguh,

    perusahaan saya bergerak dibidang jasa penjualan, dan kami ada transaksi dengan perusahaan minyak dan gas perusahaan tersebut tercatat sebagi WAPU namun tidak ada PKP, yang ingin saya tanyakan :
    1.Apakah benar perusahan tersebut meminta kami untuk mengeluarkan FP standart sedangkan di sistem kami jika tidak bisa menunjukan NPPKP maka secara otomatis FP akan sederhana.
    2.perusahaan tersebut meminta FP tetap standart namun pada NPPKP nya dikosongkan,apakah ini dibenarkan pak.

    atas jawaban dan advicenya saya ucapkan terimakasih.

    salam,
    hary

    • Teguh Wahyono says:

      Faktur pajak yang bapak terbitkan semestinya adalah faktur pajak standar, sebab bapak bertransaksi dengan pihak yang memiliki identitas (NPWP) lengkap. Dalam hal ini syarat menerbitkan faktur pajak standar adalah apabila kita mengetahui identitas jelas pembeli kita yang ketentuannya diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, meliputi: nama, npwp, dan alamat pembeli.

      Kemudian, syarat penerbitan faktur pajak sederhana adalah apabila kita bertransaksi dengan pihak yang tidak kita ketahui identitasnya (nama dan NPWP) atau kepada konsumen akhir.

      Jadi dalam hal ini, bila bapak bertransaksi dengan phk yang punya npwp, meskipun bukan pkp wajib dibuatkan faktur pajak standar. kolom pkpnya bapak kosongkan saja.

  24. agung says:

    Yth pak teguh
    saya adalah wp bukan pkp. beberapa saat yang lalu tiba-tiba saya dimintai nomor npwp oleh suatu lembaga yang saya kurang tahu jelas sumber dananya dari APBD atau bukan. dan beberapa hari kemudian saya diberi 4 lembar faktur pajak, yang 2 adalah faktur pajak pph pasal 22, sedangkan 2 yang lain adalah ppn.
    yang ingin saya tanyakan disini adalah apakah saya harus melaporkan kedua jenis faktur pajak tersebut (ppn dan pph) ke kantor pajak? mengingat saya bukan pkp
    lalu adakah hal lain yang harus saya lakukan selain melaporkan ke kantor pajak?

    terima kasih atas perhatian dan penjelasannya.

    • Teguh Wahyono says:

      semestinya hanya pkp saja yang punya kewajiban untuk melaporkan PPN. Sebab jika bapak bukan pkp tidak diperkenankan untuk memungut PPN, sehingga tak mungkin juga melaporkan. Termasuk jika bapak dalam hal ini (katakanlah) bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah, jika bapak dalam hal ini bukan PKP, semestinya juga tidak ada PPN-nya. Sebab syarat utama PPN terutang adalah yang menyerahkan PKP. jadi jika kemudian, bendaharawan pemerintah suatu lembaga memungut PPN-nya sendiri, menurut saya hal ini tidak sesuai dengan konsep UU PPN.

      Kemudian, mengenai PPh Pasal 22, pemungutannya sesuai dengan KEP-417/2001 juga semestinya dipungut oleh bendaharawan yang membayarkan barang. termasuk yang melaporkannya di sini juga adalah bendaharawan. Namun dalam praktiknya, WP rekanan (suplier) yang harus melaporkannya.

  25. jeni says:

    pak teguh
    salam kenal
    saya mau sharig pak…
    kalau sebuah yayasan ABC melakukan trasaksi pengadaan barang dan menyewakan barang maka secara perpajakan dikenakan PPN dan PPh 23 , namun perusahaan tersebut tidak PKP, yang saya tanyakan
    apabila tidak diadanya faktur pajak standar yang dikeluarkan,maka apa yang menjadi dasar kita untuk memungut pajak PPh 23 dan apa keuntungan dan kerugian buat yayasan tersebut

    terimkasih atas sharingnya
    jeni

    • Teguh Wahyono says:

      Pemotongan PPh 23 tidak didasarkan pada PKP atau bukan, sepanjang bapak adalah pemotong pajak dan membayarkan penghasilan yang Objek PPh 23, bapak harus potong pajaknya.

  26. rustam says:

    dengan hormat,

    saya mau menanyakan kasus perusahaan kami.
    kami perusahaan non pkp,karena ketidak tauhan kami,setiap ada transaksi kami di pungut PPN oleh suplier kami.
    bagaimana solusinya jika kami minta untuk direvisi faktur pajak yg telah suplier tagih.
    maksudnya jangan di terbitkan faktur pajak standar atau jangan di pungut ppn.

    terima kasih
    hormat saya

    rustam

    • Teguh Wahyono says:

      Pengenaan PPN tidak melihat pada status bapak sudah PKP atau belum. Jadi Bapak memang tidak bisa menghindar dari kewajiban untuk membayar PPN. karena bila bpk bertransaksi dgn PKP, tentunya mereka harus memungut PPN. Bila bapak sebagai PKP, maka PPN yg dipungut penjual dapat dikreditkan dengan Pajak yang bapak pungut ke pembeli. Namun karena Bpk non PKP, maka PPN yg dipungut pembeli hanya dpt bpk biayakan atau dikapitaliasi dengan nilai aset yang bapak beli.

  27. Yenny says:

    Yth.Pak Teguh,
    Saya WPOP non PKP, beberapa tahun terakhir ini saya menyewakan beberapa gudang milik pribadi yg setiap tahunnya penerimaannya kurang dari RP.600 juta,namun tahun kemarin 2009 sudah melebihi ( 1 milyar),setiap transaksi sewa menyewa kami diberikan bukti potong PPh sebesar 10% dari penyewa dan saya berencana ingin mendaftarkan sendiri untuk menjadi PKP pada tahun 2010 ini. Pertanyaan saya,apakah setelah saya resmi menjadi PKP pendapatan yang saya peroleh pada tahun 2009 dan tahun-tahun sebelumnya masih terutang PPN ? apakah PPN berlaku Surut? dan bagaimana kewajiban PPN saya selanjutnya?
    Mohon penjelasan Bapak dan terimakasih atas segala Bantuannya.

    • Teguh Wahyono says:

      kewajiban pemungutan PPN timbul bila secra subjektif dan objektif sudah terpenuhi syaratnya, syarat subjektif adalah Ibu di sini merupakan pengusaha yang menyerahkan barang kena pajak, kemudian secara objektif omset penyerahanIbu jga sudah melebihi 600 juta. apabila Ibu terlambat menjadi PKP, maka ada kemungkinan Ibu akan dikenai sanksi semenjak Ibu seharusnya PKP. untuk tahun sebelum Ibu omsetnya 600 juta–berarti belum terpenuhi syarat objektifnya–sehingga belum ada kewajiban memungut PPN.

      dengan menjadi PKP, maka kewajiban Ibu adalah memungut PPN, menyetor dan melapor.

  28. Ari Wibowo says:

    Yth Bpk. Teguh,

    Sebagaimana diungkapkan dalam artikel Bapak, bahwa Non PKP dilarang mengeluarkan faktur pajak.
    Dalam kaitannya dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, pada saat mengajukan pembayaran ke KPPN faktur pajak merupakan salah satu dokumen pendukung yang dipersyaratkan.

    1. Apakah memang terdapat pembatasan/diskriminasi terhadap pengusaha kecil (terutama yang non PKP) dalam bertransaksi dengan pemerintah?
    2. Untuk pengadaan dengan nilai kecil, dokumen pendukung pembayaran yang dipersyaratkan hanyalah SSP. Apakah pengusaha non PKP dapat membuat dokumen SSP tersebut? Bagaimana pula apabila rekanan tersebut juga belum memiliki NPWP?
    3. Apakah SSP dapat dibuat oleh bendahara pemerintah dengan mengatasnamakan rekanan non PKP?

    Terima kasih sy sampaikan sebelumnya atas tanggapan Bapak. Mohon maaf apabila pertanyaan yg sy ajukan keluar dari materi bahasan.

    • Teguh Wahyono says:

      1. Setahu saya dalam tender2 yang dibuka oleh bendaharawan atau badan pemerintah, salah satu syaratnya adalah rekanannya harus ber-NPWP dan sudah PKP. Namun saya tidak begitu mengetahui pasti ketentuan mengenai hal ini. 🙂
      2. Semestinya, sesuai dengan konsep UU PPN, PPN hanya terutang atas penyerahan BKP/JKP oleh pengusaha (yang dalam hal ini adalah PKP) di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, jika bapak bukan PKP, maka semestinya tidak terutang PPN atas penyerahan BKP–meskipun bapak melakukan penyerahan tersebut ke bendaharawan pemerintah. Meskipun bertindak sebagai pemungut, semestinya bila bertransaksi dengan non PKP, bendaharawan tidak perlu membayar PPN. Sebab secara konsep PPN belum terutang bila subjek yang melakukan penyerahan BKP/JKP belum dikukuhkan menjadi PKP.
      3. Mekanisme pemungutan PPN yang kini berlaku terkait dengan transaksi dengan pemungut PPN (bendaharawan pemerintah)–semestinya tetap harus dilakukan dengan mekanisme penerbitan Faktur Pajak terlebih dahulu, untuk selanjutnya kemudian bendaharawan pemerintah membayar PPN-nya sendiri dan memberikan SSP lembar ke-3 kepada rekanan untuk lampiran SPT Masa dan SSP lembar 1 untuk PKP rekanan.
      mengenai mekanisme pembuatan SSP, bendaharawan pemerintah memang membuat SSP tersebut dengan mengatasnamakan rekanannya.

  29. wijaya says:

    Pak, saya adalah pedagang biasa, saya memungut ppn dari customer saya dan mereka minta dibuatkan faktur pajak ppn.
    minta pencerahannya pak.tks

    • Teguh Wahyono says:

      Sebagai pemungut PPN, Bapak memang sudah semestinya membuat bukti pemungutan PPN yang dalam hal ini adalah Faktur Pajak. Bagi PKP yang lalai dalam menerbitkan faktur pajak dapat dikenai sanksi perpajakan berupa sanksi Pasal 14 UU KUP yaitu 2% dari DPP PPN.

  30. salim says:

    Dear Pak Teguh

    Mohon pencerahannya.

    Perusahaan saya melakukan transaksi pembelian dengan supplier non-PKP. Suplier tersebut beralasan mereka merupakan kategori pengusaha kecil (peredaran usaha kurang dari 600juta). Sehingga pembelian tersebut tidak dikenakan PPN.

    Pertanyaan saya, apabila di kemudian hari kami diperiksa pajak dan dicek oleh pemeriksa pajak bahwa supplier tersebut seharusnya sudah PKP dan atas pembelian barang tersebut seharusnya ada PPN yang terutang, maka apakah pembeli dapat dikenakan PPN atas pembelian barang tersbut? artinya pembeli diwajibkan membayar PPN melalui SKP/STP, tp tidak diperkenankan untuk mengkreditkannya, dengan alasan pembayaran PPN tersebut melalui SKP?

    Terimakasih atas jawaban bapak.

    • Teguh Wahyono says:

      Menurut saya, sepanjang pembeli bisa membuktikan bahwa kita bertransaksi dengan non PKP maka mestinya pembeli tidak dapat dikenai tanggung jawab secara renteng untuk membayar PPN-nya. Pengenaan PPN atas dasar tanggung jawab renteng semestinya hanya dapat dikenakan apabila memang diketahui atau diindikasikan kita bertransaksi dengan penjual yang sudah PKP atau yang semestinya PKP namun si penjual tidak memungut PPN.

  31. Rahmat Hidayat says:

    Pak Teguh
    mohon bantuannya
    Apa saja keuntungan bagi pengusaha kecil yang dikukuhkan sebagai PKP ?

    • Teguh Wahyono says:

      Pak Rahmat,
      Biasanya ada bebrapa alasan mengapa pengusaha kecil memilih untuk PKP, salah satunya adalah agar bisa masuk dalam tender2 pemerintah atau badan usaha lain yang salah satu saratnya harus PKP.

      Kalo semata2 dari sisi pajak, keuntungannya menurut saya pengusaha bisa memperhitungkan pajak masukan yang dia peroleh atas perolehan BKP/JKP.

      Salam
      Teguh

Tinggalkan Balasan ke Teguh Wahyono Batalkan balasan