Penghasilanku, Dizakati dan Dipajaki

Sebagai seorang pegawai yang bekerja di sebuah perusahaan, pada saat menerima penghasilan setiap bulannya, tentu penghasilan kita akan dipotong Pajak Penghasilan (PPh). Namun, apabila kita juga adalah seorang muslim, bisa jadi ada kewajiban lain yang melekat pada diri kita, yaitu kewajiban untuk berzakat. Lalu apakah zakat atas penghasilan ini akan menimbulkan beban berganda bagi seorang muslim?

Bagi seorang muslim ada tanggung jawab yang harus ditunaikannya ketika menerima penghasilan. Tanggung jawab tersebut meliputi tanggung jawab kepada agama yaitu membayar zakat dan tanggung jawab kepada negara yaitu membayar pajak. Lalu manakah yang utama untuk ditunaikan? Keduanya tentu sama-sama harus ditunaikan, namun sejatinya seorang harus menunaikan zakat terlebih dahulu karena secara hierarkhis kewajiban zakat tentu lebih tinggi karena langsung diperintahkan oleh Tuhan.

Meskipun zakat memiliki hierarki yang lebih tinggi, namun tidak berarti seorang yang telah menunaikan zakat tidak lagi wajib membayar pajak. Bagi seorang muslim, membayar pajak sama wajibnya dengan membayar zakat. Hal tersebut setidaknya dikuatkan oleh sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Daaruquthni yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata, ”Sesungguhnya dalam harta ada kewajiban lain, di luar zakat.” Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut pada hakekatnya merupakan perwujudan ketaatan seorang muslim kepada ulil amri serta sebagai partisipasi sekaligus sebagai toleransi untuk mendukung kepentingan umum.

Antara Zakat dan Pajak

Secara etimologi zakat berarti kesuburan, kesucian dan keberkahan. Sementara menurut hukum Islam (syara’), zakat merupakan sebagian harta benda yang dikeluarkan atas perintah Allah, sebagai sedekah wajib kepada mereka yang telah ditetapkan untuk menerima zakat (mustahik) menurut syarat hukum yang telah ditentukan.

Sementara dalam Undang-undang (UU) Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Kewajiban untuk berzakat akan timbul apabila penghasilan kita sudah melewati nishab dan haul dari harta yang dimilikinya. Yang dimaksud dengan nishab di sini adalah ukuran atau kadar banyaknya harta yang menyebabkan wajib dikeluarkannya zakat terhadap harta yang dimiliki oleh seorang muslim. Haul adalah masa waktu yang ditetapkan bagi wajibnya dikeluarkan zakat.

Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa pembayaran pajak yang diniatkan untuk membayar zakat dapat dikatakan sebagai zakat. Hal ini oleh para ulama tidak dapat dibenarkan, karena antara pajak dengan zakat keduanya memiliki filosofi yang berbeda.

Pemungutan zakat dan pajak keduanya memang memiliki kemiripan karena keduanya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing subjeknya. Namun demikian para alim ulama berpendapat bahwa pajak dan zakat tidak dapat dipersamakan, banyak hal yang membedakan keduanya, di antaranya zakat hanya dikenakan kepada seorang muslim, sementara pajak dikenakan kepada setiap warga negara tanpa melihat apakah subjek pembayar pajaknya adalah seorang muslim atau bukan.

Zakat memang lebih dekat dengan kewajiban religi yang didasarkan pada hukum dan ketetapan Tuhan (Allah SWT). Sementara pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang pemungutannya didasarkan pada hukum negara atau undang-undang. Namun demikian, meskipun zakat adalah ketetapan Allah SWT, namun tak sedikit muslim yang enggan menunaikan kewajiban zakatnya. Sama seperti Wajib Pajak yang juga tak sedikit yang enggan membayar pajak.

Sebagai sebuah tanggung jawab kenegaraan, maka Wajib Pajak harus mempertanggungjawabkan kewajiban perpajakannya kepada negara, sementara karena zakat adalah kewajiban yang digariskan dalam kitab suci berdasarkan hukum Allah, maka pertanggungjawabannya pun kepada Allah.

Selain hal di atas, perbedaan antara pajak dengan zakat adalah pemanfaatannya. Jika pajak digunakan untuk pembangunan secara menyeluruh, zakat disalurkan atau diberikan hanya untuk orang yang berhak menerimanya (mustahik).

Tabel 1

Beda Zakat dan Pajak

Perbedaan

Zakat

Pajak

Definisi

Kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.

Pungutan wajib kepada negara.

Dasar hukum

Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma.

Hukum negara (undang-undang).

Objek

Harta produktif

· Penghasilan;

· Juga dikenakan atas konsumsi (PPN) dan

· Harta tidak produktif (Pajak Bumi Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor).

Subjek

Hanya dikenakan kepada orang muslim.

Dikenakan kepada seluruh warga negara tanpa melihat agama yang dianutnya.

Nishab dan Tarif

Ditentukan Allah dan bersifat mutlak, besarnya tarif atau persentase pengenaan zakat tidak akan berubah.

Ditentukan oleh negara dan dapat berubah sesuai dengan kondisi neraca anggaran negara.

Sanksi

Sanksi dari Allah, baru dikenakan di akhirat, kecuali negara-negara yang pemerintahannya menggunakan dasar hukum Islam.

Dapat dikenakan sanksi secara langsung berdasarkan undang-undang.

Motivasi pembayaran

Keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya.

Ijab kabul

Disyaratkan untuk melakukan ijab kabul.

Tidak perlu ijab kabul.

Sifat

Meskipun zakat adalah kewajiban tiap muslim, namun pemungutan zakat tidak dapat dipaksakan.

Dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan pajak yang berlaku.

Pemanfatan penerimaan

Disalurkan untuk 8 (delapan) asnaf, yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, garim, sabilillah dan Ibnu sabil.

Digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana publik, sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh orang kaya atau orang miskin.

Perhitungan

Dipercayakan kepada muzaki.

Dapat menggunakan bantuan jasa akuntan/konsultan pajak.

Diolah dari berbagai sumber

Zakat Penghasilan

Bagi seorang muslim ada dua jenis zakat yang harus ditunaikannya yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap muslim setiap bulan ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri sebagai penyempurna ibadah puasa setiap tahunnya. Sementara zakat maal adalah zakat yang dikenakan atas harta benda yang dimiliki seorang muslim yang harus ditunaikan apabila telah mencapai nishab dan haulnya.

Dalam perkembangannya, zakat tidak hanya meliputi zakat fitrah dan zakat maal saja. Berdasarkan ijtima’ (kesepakatan) para ulama ditetapkanlah zakat atas profesi atau zakat atas penghasilan. Keberadaaan zakat profesi ini memang belum lama ada karena sebelumnya istilah zakat profesi ini belum dikenal pada zamannya Rasulullah SAW. Ditetapkannya zakat profesi atas penghasilan oleh para ulama ini dilandasi adanya perubahan sistem perekonomian yang cukup besar di saat ini.

Profesi-profesi seperti dokter, arsitek, konsutan, pengacara dan sebagainya memang belum dikenal pada masa Rasulullah SAW. Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa profesi-profesi tersebut memiliki penghasilan yang lebih besar dari pada petani dan peternak. Oleh karenanya para ulama menyusun sebuah lapisan zakat baru yang dibingkai dengan nama zakat profesi yang dikenakan atas penghasilan. Zakat profesi yang selanjutnya disebut sebagai zakat atas penghasilan merupakan zakat atas penghasilan yang diperoleh dari pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai dengan syariat, seperti upah kerja rutin, profesi dokter, pengacara, arsitek dan lain-lain.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga telah mengeluarkan fatwa sehubungan dengan zakat penghasilan ini. Dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, dinyatakan bahwa atas semua bentuk penghasilan yang halal wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dimaksud dengan penghasilan dalam hal ini adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.

Semua penghasilan yang halal tersebut, apabila telah mencapai nishabnya dalam satu tahun, wajib untuk ditunaikan zakatnya. Besarnya zakat atas penghasilan yang harus ditunaikan oleh seorang muslim adalah sebesar 2,5% x nishab (penghasilan minimal yang wajib zakat). Besarnya nisab adalah seharga 85 gram emas.

Mengenai dasar pengenaan zakat (penghasilan kena zakat) hal ini masih ada perbedaan pendapat di beberapa kalangan. Ada yang berpendapat bahwa zakat penghasilan dikeluarkan dari penghasilan bruto dan ada pula yang dikeluarkan dari penghasilan neto seorang muzaki. Bila zakat tersebut dikeluarkan dari penghasilan neto, maka penghasilan bruto terlebih dahulu akan dikurangi dengan biaya hidup yang menjadi tanggungan muzaki. Namun menurut Dr. Yusuf Qardawi, zakat penghasilan sebaiknya ditunaikan dari jumlah bruto penghasilan yang diterima oleh seorang muzaki. Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS, ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam wawancara yang pernah dimuat oleh Indonesian Tax Review.

Contoh 1:

Tn. Teguh adalah seorang karyawan swasta di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa konsultansi perpajakan. Dalam tahun 2007, Tn. Teguh menerima gaji dengan take home pay setiap bulannya sebesar Rp5.000.000,00. Selain itu, Tn. Teguh juga menerima THR dan bonus di tahun tersebut sebesar Rp10.000.000,00.

Berikut ilustrasi penghitungan zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Tn. Teguh.

Penghasilan sebulan                             Rp5.000.000,00

Setahun = 12 x @ Rp5.000.000,00  Rp60.000.000,00

Penghasilan lainnya:

Bonus dan THR                                   Rp10.000.000,00 (+)

Total penghasilan per tahun    Rp70.000.000,00

Nishab (penghitungan batas wajib zakat 85 gram emas, asumsi 1 gram emas = Rp200.000,00)

= 85 gram x Rp200.000,00 per gram

= Rp17.000.000,00.

Dengan demikian, penghasilan Tn. Teguh di tahun 2006 telah melebihi nishab. Oleh karenanya atas penghasilan tersebut sudah wajib dizakati. Besarnya zakat yang harus disetor adalah sebesar:

= 2,5% x Rp70.000.000,00

= Rp1.750.000,00.

Perlakuan Perpajakan atas Zakat Penghasilan

Bagaimanapun seorang muslim akan memiliki beban ganda, karena ada dua kewajiban yang mesti ditunaikan yaitu zakat dan pajak. Nah, untuk meringankan beban seorang muslim yang menunaikan zakat, maka undang-undang pun memberikan fasilitas agar zakat yang dibayarkan oleh seorang muslim dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.

Penegasan ini dapat ditemukan dalam Pasal 14 ayat (3) UU Nomor 38 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dapat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Tujuan dari hal ini adalah agar Wajib Pajak tidak menanggung beban berganda, yakni kewajiban membayar zakat dan membayar pajak. Hal ini juga diharapkan dapat merangsang masyarakat untuk membayar zakat dan juga membayar pajak.

Ketentuan perpajakan kita pun juga mengatur mengenai perlakuan perpajakan atas zakat yang ditunaikan oleh seorang muslim. Bukan hanya dari sisi muzaki saja yang diatur, akan tetapi perlakuan pajak atas para mustahik yang menerima zakat pun diatur dalam ketentuan perpajakan kita.

1. Dari Sisi Muzaki

Dari sisi perpajakan kita, zakat sebenarnya dipersamakan dengan sumbangan. Hal ini dinyatakan secara tersurat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka (1) UU PPh yang menyatakan bahwa zakat termasuk dalam pemberian sumbangan.

Namun demikian, walaupun secara bisnis pembayaran zakat tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha, namun ketentuan perpajakan kita menggariskan bahwa zakat yang memenuhi persyaratan tertentu dapat diperlakukan sebagai biaya (deductible expense) untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Secara eksplisit hal tersebut dapat dilihat pada Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003. Dalam Pasal 1 ayat (1) keputusan Dirjen Pajak tersebut dinyatakan bahwa,

”Pasal 1

(1) Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.”

Dari ketentuan di atas jelas dinyatakan bahwa bagi Wajib Pajak badan atau orang pribadi yang membayarkan zakat penghasilan, zakat tersebut diperbolehkan menjadi deductible expense. Berbeda halnya dengan Wajib Pajak orang pribadi yang mengurangkan zakat pada penghasilan neto, untuk Wajib Pajak badan zakat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Meskipun zakat merupakan pengurang penghasilan neto, namun zakat tersebut harus dikeluarkan dari penghasilan yang merupakan objek pajak dan dikeluarkan dari penghasilan yang tidak dikenai PPh Final. Hal ini seperti dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2006 berikut ini,

”(2). Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.”

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembayaran zakat yang dilakukan Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan yang bersifat final, tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya (non deductible expense).

Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip pengenaan PPh Final, yang tidak lagi memperhitungkan adanya biaya-biaya di akhir tahun, karena Wajib Pajak yang dikenai PPh final tidak perlu lagi menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk menentukan pajak terutang di akhir tahun.

Contoh 2:

Tn. Yusuf merupakan pengusaha orang pribadi tertentu yang memiliki usaha berupa gerai handphone di beberapa tempat usaha yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan oleh Tn. Yusuf selama tahun 2006, diketahui bahwa omset usaha Tn. Yusuf dari sejumlah counter handphone yang tersebur di beberapa wilayah sebesar Rp590.000.000,00, dengan total keuntungan bersih sebesar Rp370.000.000,00. Dalam hal ini Tn. Yusuf tidak menerima penghasilan dari tempat lain.

Sesuai dengan tuntunan agama Islam, atas penghasilan yang diterima dari usahanya, Tn. Yusuf membayar zakat atas penghasilan yang diterimanya di tahun tersebut sebesar 2,5% melalui Baznas DKI. Misalkan besarnya zakat yang disetorkan Tn. Yusuf adalah sebesar Rp9.250.000,00 (2,5% x Rp370.000.000,00).

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-171/PJ./2002, Tn. Yusuf dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang atas penghasilan setiap gerainya wajib disetor PPh pasal 25 sebesar 2% dari omset bruto per bulan di masing-masing gerai tempat usahanya. Karena Tn. Yusuf tidak menerima penghasilan lain, maka PPh Pasal 25 sebesar 2% dari omset yang disetorkannya ke kas negara dan dilaporkan ke KPP tempat masing-masing lokasi kegiatan usaha berada merupakan pelunasan PPh yang terutang untuk Tahun Pajak 2006 dan bersifat final.

Oleh karena penghasilan Tn. Yusuf dianggap sebagai penghasilan yang bersifat final, maka pembayaran zakat oleh Tn. Yusuf kepada Baznas DKI tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai biaya untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Contoh 3:

Melanjutkan contoh 2 di atas, misalkan di Tahun Pajak 2007 Tn. Yusuf menjabat sebagai salah satu komisaris di PT Cinta Indonesia Selamanya (PT CIS), dan menerima total take home pay dari PT CIS selama setahunnya sebesar Rp120.000.000,00. Atas penghasilan tersebut oleh Tn. Yusuf juga disetorkan zakatnya kepada Baznas zakat sebesar Rp3.000.000,00 (2,5% xRp120.000.000,00).

Dengan demikian total zakat penghasilan yang disetorkan oleh Tn Yusuf ke Baznas adalah:

= Rp3.000.000,00 + Rp9.250.000,00

= Rp12.250.000,00.

Karena dalam tahun 2007 ini, Tn. Yusuf juga menerima penghasilan dari PT CIS yang sifatnya tidak final, maka hal ini berarti penghasilan yang diterimanya dari gerai-gerai tersebut menjadi tidak final sehingga harus dihitung di akhir tahun sesuai dengan tarif PPh yang berlaku. Dengan demikian, PPh Pasal 25 yang disetor oleh Tn. Yusuf setiap bulannya sebesar 2% di masing-masing lokasi tempat kegiatan usaha dapat menjadi kredit pajak.

Karena penghasilan Tn. Yusuf yang dikenakan zakat tidak bersifat final, maka zakat tersebut dapat dibiayakan oleh Tn. Yusuf dalam SPT Tahunan PPh orang pribadinya.

Penghasilan neto dari usaha                                            Rp370.000.000,00

Penghasilan neto dari pekerjaan                                     Rp 118.704.000,00 (+)

(Rp120.000.000,00 – Rp1.296.000,00)

Jumlah Penghasilan neto                                                 Rp 488.704.000,00

Dikurangi:

Zakat penghasilan                                                             Rp   12.250.000,00 (-)

Penghasilan neto setelah zakat                                       Rp 476.454.000,00

Dikurangi:

PTKP K/1                                                                           Rp   15.600.000,00 (-)

Jumlah Penghasilan Kena Pajak                                     Rp 460.854.000,00

PPh terutang:

5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00

10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00

15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00

25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00

35% x Rp260.854.000,00 = Rp 91.298.900,00 (+)

                                                                                            Rp 127.548.900,00

Dikurangi dengan kredit pajak:

PPh Pasal 25 Rp 11.800.000,00

(2% x Rp590.000.000,00*)

PPh Pasal 21 yang dipotong PT CIS                              Rp  12.026.000,00 (+)

(berdasarkan formulir bukti potong 1721 A1)

Jumlah total kredit pajak                                                Rp  23.826.000,00 (-)

PPh terutang                                                                    Rp 103.722.900,00

*) PPh Pasal 25 Wajib Pajak orang pribadi tertentu terutang sebesar 2% dari omset bruto per bulan di masing-masing tempat kegiatan usaha.

2. Dari sisi penerima zakat (Mustahik)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh, dinyatakan bahwa zakat bukan merupakan Objek PPh. Oleh karenanya zakat yang disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya bukan merupakan Objek PPh.

Senada dengan hal itu, dalam Pasal 7 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-15/PJ./2005 juga dinyatakan bahwa zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21.

Pengurangan Zakat Dalam SPT Tahunan

Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 dinyatakan bahwa pengurangan zakat atas penghasilan dilakukan dalam tahun pajak dilaporkannya penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Wajib Pajak sesuai dengan tahun diterima/diperolehnya penghasilan.

Apabila dalam tahun pajak dilaporkannya penghasilan dalam SPT Tahunan, zakat atas penghasilan tersebut belum dibayar, maka pengurangan zakat atas penghasilan dapat dilakukan dalam tahun pajak dilakukannya pembayaran sepanjang Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa penghasilan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak sebelumnya.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melaporkan penghasilannya dengan menggunakan SPT 1770, maka zakat atas penghasilan dilaporkan dalam halaman induk pada kolom C.6. SPT 1770. Dari halaman induk SPT tersebut kita bisa melihat bahwa zakat mengurangi penghasilan neto. Sementara Wajib Pajak yang melaporkan penghasilannya pada SPT 1770 S, zakat atas penghasilan yang dibayarkannya akan dilaporkan pada kolom B.3 SPT Induk 1770 S.

Penutup

Antara zakat dan pajak, keduanya memang hampir mirip. Namun keduanya jelas berbeda. dan keduanya pun tidak dapat trade off. Artinya keduanya wajib ditunaikan oleh seorang muslim, meskipun zakat secara hierarki memiliki pertanggung jawaban yang lebih tinggi.

Meskipun memiliki dua kewajiban yang mesti ditunaikan atas penghasilan yang diterimanya. Namun tidak berarti—seorang muslim yang membayar zakat sekaligus juga membayar pajak—memiliki beban yang berganda. Hal ini karena dalam Undang-undang Zakat dan ketentuan perpajakan kita memperbolehkan zakat sebagai pengurang penghasilan. Kewajiban berzakat dan membayar pajak ini semestinya kita sadari, jangan sampai zakat sudah dibayar tetapi lupa bayar pajaknya.